Us?

Memangkas senja, bait-bait nostalgia tersemai seiring padamnya lentera sang surya. Di ujung peraduan, binar sang lunar berpendar-pendar menyampaikan pesan malam secara nanar. Temaram membelai kulitku kala gelak-gelak air danau itu meriak disapu sang bayu.

Ada sedikit sendu tatkala ujung-ujung jemari mulai membiru, memanggil lantunan deru masa lalu.

Aku masih terperangkap di sana, berayun-ayun manja pada dedauan yang setia berarak seiring tarian kejora. Memancang obsidian pada permukaan danau yang ditaburi pancaran gemintang, menampilkan bias keperakan yang menyebar di setiap permukaan.

Memecah keheningan dengan pergerakan ligamen kaki yang menjejak air, membunyikan kecipak-kecipuk lemah di antara sedu sedan barisan pepohonan.

Permukaan danau berwarna kelam, sepekat surai-suraiku yang mengibar berantakan. Membiarkan angin musim gugur mencumbu setiap inchi kulitku yang di penuhi bilur-bilur rindu. Merasakan damai dan tenang yang menyakitkan, membaui aroma kehilangan yang semakin lama semakin menyesakkan.

Di sana, serpihan-serpihan kisah kita masih terpeta sempurnaโ€”kepalang indah untuk dijadikan kisah usang tanpa makna. Masih menjadi pemicu rindu nomor satu, saat gegap tawamu menjadi satu-satunya nada yang mengudeta koklea. Alunan bahagia yang membuatku kembali jatuh cinta pada sosok yang sama.

Seharusnya, sejak awal kupahami tentang kisah kita yang tak pernah mempunyai permulaan. Mengalir laiknya pancuran air, membawa kombinasi rasa lainnya yang sebelumnya tak pernah ada. Tanpa kata iya, jemarimu menaut tanganku pada sudut danau itu. Mendaratkan satu-dua cumbu, lantas meninggalkan sesuatu di dalam kalbu.

Perlahan, harapan-harapan menjemukan itu mulai mencemari kehidupan. Menciptakan delusi-delusi yang tak seharusnya mempunyai arti, menyusup di sela-sela mimpi. Aku tak berniat menghakimi, namun sikap manismu itu membuatku tinggi hati.

Aku pernah ada di sana, di satu sudut bahagia dimana kamu menciptakan surga untuk kita berdua. Membawaku ke banyak tempat menyenangkan tanpa kutahu jika nantinya aku diharuskan pulang sendirian. Karena kamu berniat melangkah maju tanpa membawaku. Meninggalkan asaku yang terkurung dalam kata sayang dan selalu.

Kau bilang selamanya, setelahnya kau ciptakan jurang dan mendorongku jatuh ke dalam. Aku menurut pada saat itu, mengamini setiap dusta tanpa berniat memilah-milihnya. Mengiyakan setiap pembatalan kencan kita, lantas mendiami danau ini seorang diri.

Bodohnya aku, yang masih sempat-sempatnya mengagumimu. Di sini, digelung sunyi, kuceritakan puluhan-puluhan frasa yang menggambarkan kedekatan kita. Menggadangkan aneka rupa ending bahagia yang sengaja kuimajinasikan bersamaโ€”yang pada realitanya hanya aku saja yang jatuh cinta.

Hanya aku, bukan kamu, bukan kita.

Lekas setelahnya tabir-tabir memuakkan itu mulai terungkap. Menemuimu di ujung senja, menceritakan bagaimana aku membodohi diriku sendiri dengan terus berpura-pura bahwa kamu memang menginginkanku. Katamu, aku hanyalah rumah dimana kamu pulang ketika lelah. Aku hanyalah pelarian ketika kamu kesakitan dan membutuhkan pelukan.

Kenapa aku terlihat begitu menyedihkan?

Seharusnya aku tahu, jika sesuatu yang tidak mempunyai awal tak sepantasnya menemukan akhir. Tanpa sepatah penjelasan ataupun perpisahan, bening manikmu tak pernah memenjarakanku lagi. Kata mereka, kamu sudah bahagia.

Lantas kamu lupaโ€”atau berpura-pura lupaโ€”padaku, pada kita.

Remang permukaan danau menampar kulit kakiku lembut, menyisipkan getir-getir menyebalkan yang tak kutahu bagaimana menyebutnya. Aku rindu tapi tak ingin bertemu, aku benci tapi ingin memiliki.

Lekas kudekap kaki erat-erat, menengadah menantang raja malam. Menyembunyikan desak fluida yang menggantung di ujung mata. Siap meluncur dalam satu kedipan ketika menyadari satu hal yang seharusnya kupahami sejak awal; bahwa โ€˜kitaโ€™ memang tak pernah ada.

โ€” fin

No responses yet